Menertawakan “Kekurangan”

Beberapa hari sebelum tahun berganti, persiapan pesta di kawasan Bunderan HI berupa instalasi panggung menyita sebagian area pejalan kaki. Untuk bisa melewatinya, pilihannya ada dua: gunakan area kendaraan atau merunduk. Ketinggian panggung memang tanggung. 



Mau nggak mau, saya memilih menembus kolong panggung alias merunduk sebab risiko keserempet kendaraan lebih tinggi ketimbang sakit punggung.

Di dekat saya, dua remaja tertawa-tawa dengan bahagia karena bisa melewati panggung tanpa harus repot menundukkan badan. Tubuh mungilnya tak lebih tinggi dari kolong panggung. 

Dalam kondisi biasa, tubuh mungil seringkali memicu insecurity. Apalagi, dunia kerja kita sangat diskriminatif untuk posisi tertentu. Pun dalam pergaulan, orang-orang yang bertubuh petit mati-matian berusaha mencapai angka rata-rata. Nggak heran kalau produk penambah tinggi badan sliweran meski belum jelas teruji.

Sesuatu yang jika dalam keadaan biasa, dianggap “kekurangan” dan harus ditambal dengan hak sepatu super tinggi atau beragam kiat agar terlihat jenjang seperti petunjuk di majalah  yang berpedoman pada kitab beauty standard.

Manusia, menciptakan patokan sendiri untuk sebuah definisi tentang “sempurna” padahal Tuhan telah menetapkan dalam firman tentang ciptaan-Nya.

By the way, melihat dua remaja itu begitu sumringah dan gembira, saya juga ketularan menarik ujung bibir. Senyum.  Definisi bahagia itu bisa menular.

Hari pertama rangkaian 30 hari bercerita.
Share on Google Plus

About e-no si nagacentil

Cerdas, ceriaa, centil
    Blogger Comment

0 comments: