Tuli Bertemu Toleransi

Minggu pagi biasanya menu utama saya adalah gogoleran. Tapi, kali ini tidak. Pesan singkat yang masuk di Sabtu malam mengabarkan bahwa saya terpilih untuk hadir di diskusi soal toleransi. Menggairahkan karena acara ini juga melibatkan teman tuli 🤩



Ada tiga narasumber, dua di antaranya mewakili minoritas sementara seorang lagi berupaya menebas intoleransi. Bincang-bincang hari itu membuat saya sebagai kaum mayoritas ingin minta maaf rasanya karena tanpa disadari kami sudah menjadi manusia zalim 🥺


Ibu Retno-penghayat kepercayaan-hidup bertahun-tahun dalam tekanan dianggap sebagai syirik, tidak beragama, dan dipaksa menjadi pemeluk agama yang tidak diyakininya hanya demi administrasi dan pengakuan sebagai warga negara. 


Phieter Angdika tuli, terlahir sebagai Tionghoa, dan kini seorang mualaf. Bukan cuma sekali mengalami diskriminasi: pencarian hunian dipersulit hanya karena etnisnya, kisah klasik yang mustinya tidak perlu berulang. Siapa yang bisa memilih terlahir dari suku apa?


Tito tinggal di kota paling intoleran dan (sad but true) dihuni pemeluk agama mayoritas (boleh tos? 🙏🏻) menyaksikan sendiri betapa minoritas sulit beribadah. Lewat Bastra ID ia mencoba mengedukasi dan mengikis intoleransi.




Dari sini saya belajar, ada beberapa tingkatan toleransi: terendah adalah abai saja selama kita tidak terganggu. Kasta tertinggi toleransi ada ketika kita berani melindungi mereka yang berbeda saat diusik.


Sudah sampai mana level toleransimu?


Kita bisa mulai dengan tidak meributkan pilihan. Saya juga masih belajar terus.


Yang sulit saya toleransi secara alami kayaknya konsumsi susu hewani, meski kadang ditelan juga dan tanggung sendiri akibatnya 🤪


Hari ke-23 rangkaian 30 hari bercerita

Share on Google Plus

About e-no si nagacentil

Cerdas, ceriaa, centil
    Blogger Comment

0 comments: