Bangunan sekolah dasar saya terletak di dekat gereja.
Entah kenapa, terbentuk mitos angker pada rumah ibadah umat Kristiani itu sehingga meski kami senang menjelajah tanah lapang yang masa itu masih sangat lega dan penuh tumbuhan, tak ada yang berani berada di radius sekian meter dari gereja. Ditambah bumbu penyedap kisah misteri yang subur ditebar, meski belum tentu benar.
Barangkali, karena gereja selalu sepi dan tertutup di hari sekolah. Bukan keanehan seharusnya karena ibadah dilangsungkan hari Minggu saat kami libur.
Tapi, seperti sebuah dongeng yang diwariskan turun-temurun, gereja adalah tempat menakutkan-harus dijauhi-misterius-dan berbagai cerita seram lainnya. Sampai dewasa, sepertinya masih ada yang alergi pada gereja. Hanya kali ini alasannya jelas berbeda. IYKWIM.
Ramai di X (dulunya Twitter) tentang minimnya jumlah gereja di kota yang saya huni, terkait indeks intoleransi. Faktanya, di Depok ada cukup banyak gereja (lama) yang sebagian besar terpusat di kawasan Depok Lama: wilayah pemukiman yang kental dengan warisan Belanda.
Hanya sebagian yang sempat terpotret, itupun sudah menimbulkan kekaguman karena cerita di baliknya. Salah satunya, menolak pembaptisan umat sejak bayi karena menurut pihak gereja anak-anak juga memiliki hak memilih keyakinannya dan bukan karena diturunkan oleh orangtuanya.
Bisa nebak gereja apa?
Hari ketujuh rangkaian 30 hari bercerita
0 comments:
Post a Comment