Ceker Ayam

Waktu SMA, keuangan keluarga belum pulih benar meski mulai membaik. Harga seekor ayam masih dirasa mahal untuk konsumsi sehari-hari sehingga saat itu kami hanya membeli bagian yang terjangkau: kepala dan ceker. Maklum mulut yang harus dikasih makan banyak 😅




Suatu hari, kakak memasakkan semur kentang dan tahu dengan tambahan ceker ayam. Bagi saya ini adalah kemewahan dan biasanya masing-masing anak hanya mendapat jatah satu potong saja. Sisanya, kentang dan tahu boleh diambil sepuasnya.


Pulang sekolah, teman dekat saya bertandang ke rumah. Sesuatu yang sangat lazim pada masa itu: saling berkunjung. Tentu saja sebagai tuan rumah yang baik, saya mengajaknya makan siang dengan menu seadanya: semur ceker. Tampak wajah teman saya berbinar-binar dan tanpa ragu dia mengambil sepotong ceker yang tersisa: jatah saya 🥺


Gimana perasaan saya saat itu tentu kalian bisa ngebayangin. Tapi, demi menghormati tamu saya berusaha legawa. Dengan sedikit nelangsa, siang itu saya makan ala vegetarian alias tanpa nutrisi hewani sama sekali (kecuali sari ceker yang larut dalam kuah semur hahahaha 😁).


Sampai sekarang setiap makan ceker saya jadi teringat teman saya itu. Betapa, sesuatu yang dibuang-buang bagi orang lain justru jadi rebutan. Sekarang, kehidupannya tentu sudah makmur.  Setidaknya tercermin secara fisik dalam bentuk rumah besar dan kendaraan pribadi, dua hal yang saya belum miliki saat ini.


Saya bisa paham kenapa saat itu dia (juga) melihat ceker sebagai kemewahan. Teman saya itu berusia dua tahun lebih tua, anak baru alias pindahan. Dia mengalami gap year yang diisi dengan bekerja sebagai penjaga toko busana di sebuah pasar. Latar belakang ekonomi adalah alasan klasik kenapa menunda masuk SMA. 


Dan itu terbukti.


Kali lain, gantian saya bertandang ke rumahnya yang lebih mirip bilik dan berkonsep macam prokariota alias uniseluler: semua dilakukan di satu ruangan (kecuali mandi dan masak). Dindingnya juga bukan dari bata yang kuat, seadanya asal bisa menampung satu keluarga yang jumlahnya cukup banyak dan melindungi dari panas-hujan.


Memang, selalu ada alasan di balik sebuah perbuatan ya.


Hari ke-16 rangkaian 30 hari bercerita


Share on Google Plus

About e-no si nagacentil

Cerdas, ceriaa, centil
    Blogger Comment

0 comments: