Jadi anak ahensi, pada masanya, sungguh sebuah kebanggaan tersendiri. Tapi, ini nggak berlaku buat alumni (dan lingkungan) ilmu pasti. Beda universe.
Sebagai alumni kampus sains, jujur saya merasa "asing" ketika kembali berinteraksi dengan sesama lulusan karena terlalu jauh "menyebrang". Kebanyakan teman-teman saya berprofesi sebagai pengajar, orang kantoran (umumnya mereka memulai sebagai Management Trainee yang kemudian merambah ke pemasaran atau penjualan), atau di jalan lurus sesuai disiplin ilmu: jadi peneliti atau ahli konservasi di NGO.
Jurang ini terasa sekali ketika saya berkumpul dalam reuni kecil. Tidak ada yang menanyakan gimana sih job desc-nya anak ahensi, bahkan dalam diskusi group chat pun nyaris tidak pernah dibahas. Bisa dibilang, posisinya kayak anak bawang dan masih kalah keren dibandingkan anak startup.
Istilah "anak ahensi" merujuk pada pekerja di dunia creative agency yang umumnya di bidang periklanan, profesi yang nggak pernah kepikiran bisa nyemplung di sini meski bibit-bibit keinginan sempat tumbuh setiap melihat iklan sliweran di layar kaca.
Awal saya terjun di dunia ahensi, adalah peralihan dari industri perangkat lunak dan situs web yang kemudian melihat peluang besar untuk melebarkan sayap ketika media sosial mulai menggurita. Twitter dan blog adalah dua platform yang mengawali peluang pemanfaatan sebagai sarana beriklan dengan memanfaatkan ketenaran. Istilah pemengaruh (influencers) dan selebtwit pun mulai dikenal berbarengan dengan profesi blogger. Lahirnya Instagram dan Youtube yang kuat pada visual semakin mengukuhkan ragam media promosi. Kalau dulu hanya ada iklan cetak, radio, dan TV yang mengandalkan selebriti maka media sosial menciptakan pesohor-pesohor baru dari nobody menjadi somebody.
Luar biasa memang loncatan teknologi.
Menjadi anak ahensi, memang bukan main bergengsi di semestanya. Bergelimang hedonisme, bahkan ada adu flexing outing kantor makin jauh (alias ke luar negeri) makin keren. Tapi, tidak ketika saya kembali ke akar kampus bahkan teman sekelas. Agak sulit memang menjelaskan karena ahensi yang saya lakoni bukan ad agency era sampai awal 2000an. Entahlah, saya merasa dunia ini ada di universe yang berbeda jauh.
Di kopdar alumni, saya hanya bengong-bengong karena topik diskusi fokus pada profesi yang "umum" dilakoni saintis: penelitian, pendidikan, atau konservasi. Sialnya lagi, saya tidak punya gelar tambahan di belakang S.Si sehingga tidak ada bahan obrolan soal perkuliahan. My bad, kenapa dulu waktu masih di usia dua puluhan nggak nekad cari beasiswa ya hahaha...
Group chat pun sangat jarang membahas lika-liku dunia ahensi. Boro-boro mau bahas gosip selebgram atau Youtuber, dikotomi dunia sains dan "hiburan" rasanya tegas banget. Entah, seperti ada kesan kalau orang-orang yang kenal seleb itu bukan orang pinter. Ah baper...
Bahkan, ketika program sharing alumni diluncurkan, materi untuk anak ahensi pun tidak dilirik alias bukan prioritas. Mungkin karena pola pikir bahwa media sosial itu nggak perlu panduan, bisa dilakoni sambil jalan. Beda dengan profesi-profesi keren lain kayak peneliti, NGO, atau startup.
Ya udahlah...
Padahal, ketika mengajukan usulan topik media sosial itu saya ingin sekali membekali para mahasiswa yang akan lulus sebelum terjun ke dunia kerja. Loncatan terlalu jauh dari dunia monolog ke digital, membuat gegar budaya yang cukup mengejutkan. Saya ingin, adik-adik itu tidak terjebak pada euforia bermedia sosial pengejar viralitas. Saya ingin, para calon saintis itu bisa mengedukasi publik lewat konten yang dibuat, memberantas hoaks klasik dari rendahnya pengetahuan soal sains dan medis.
Hoaks pertama yang saya terima di awal Y2K adalah soal jarum terinfeksi HIV yang sengaja ditaro di kursi bioskop supaya banyak yang ketularan. Tampaknya, edukasi sains masih belum berhasil sebab sampai sekarang hoaks bertema sains dan medis masih aja banyak beredar kayak telor dadar. Kalau dokter-dokter sudah banyak turun tangan mengedukasi, kenapa saintis nggak bisa bikin konten viral berbasis riset yang jelas dan tetap fun?
Sebuah tantangan untuk kalian..
0 comments:
Post a Comment