Profesi petani, masihkah diminati?
Pertanyaan ini terlontar usai datang ke gala premiere film Seribu Bayang Purnama yang mengangkat kehidupan petani Indonesia. Tema yang nggak biasa dan sungguh berani!
Sudah lama sekali, petani menjadi profesi yang dipandang sebelah mata: pinggiran, miskin, nggak menarik, kucel... Seingat saya, gambaran ini sudah lama dibentuk sejak jaman orba. Meski sering digaungkan sebagai pahlawan swasembada apalagi sampe dibuatkan program kelompencapir, nyatanya masih ada (dan terus terjadi) saja cerita pilu dunia petani.
Permasalahan pertanian makin pelik dan dalam setelah saya menonton Seribu Bayang Purnama...
Dibuka dengan adegan pertentangan Budi (diperankan Nugie) sebagai penggarap lahan pak Gatot si juragan sawah yang menghendaki untuk berhenti menggunakan pupuk pabrikan karena dikhawatirkan merusak kesuburan tanah. Gatot sebagai "petani modern" tentu saja menolak usulan ini karena pupuk dan pestisida pabrikan dianggap kunci sakti panen berlimpah. Budi kemudian memilih resign dan menggarap sawah yang dibeli dengan mengorbankan tabungan kuliah Putro, putra semata wayangnya, sekaligus mempraktikkan metode organiknya yang banyak ditentang.
Cerita kemudian bergulir pada adegan Putro dewasa (diperankan Marthino Lio) yang mudik untuk mengabdikan diri menjadi petani setelah bertahun-tahun berkarir di Jakarta. Disambut sikap dingin Budi yang sejak awal tidak setuju kepergian Putro, akhirnya sang ayah luluh juga melihat Putro berhasil meyakinkan sesama penggarap dan petani "gurem" mengadaptasi metode organik Budi dengan menggunakan bahasa sederhana. Dari sini kita belajar, pentingnya komunikasi yang membumi untuk menyampaikan ilmu tinggi.
Tentu saja, film belum selesai dan perlu bumbu pedas berupa tokoh antagonis. Gatot si juragan sawah, melahirkan Dodit sebagai sosok petani muda yang mewarisi arogansi sang bapak. Head to head lah dengan Putro. Kompetisi petani nasional menjadi ajang pembuktian generasi kedua petani "modern" melawan petani organik. Bisa ditebak, Dodit yang dipenuhi ambisi serta termakan gen instan, menghalalkan segala cara termasuk berbuat curang untuk mengalahkan Putro.
Agar rasa pedasnya tidak menyakitkan, pemanis romansa antara Putro dengan Ratih adik Dodit pun diselipkan. Meminjam istilah teman saya, seperti Romeo & Juliet yang berasal dari keluarga bertikai. Akankah percintaan Putro dan Ratih berjalan mulus? Bagaimana dengan peluang Putro memenangkan kompetisi sebagai pembuktian metode organik adalah yang terbaik?
Modus mas Putro 😄 |
Kembali ke film, dua poin yang langsung menarik perhatian saya dari SBP adalah pengunaan bahasa Jawa natural dan terpenting: fitur closed caption, ini sangat membantu teman tuli dalam memahami isi cerita. Masih sedikit pembuat film Indonesia yang punya perhatian ke komunitas ini.
Penggambaran karakter di SBP menurut saya memang masih hitam putih. Seperti The Ingals dan The Olesons di Little House on the Prairie. Simbol-simbol OKB dan antagonis sangat jelas ditampilkan pada keluarga Gatot: baju bermerek, sarapan roti dan jus jeruk (padahal sawahnya luas ya), kepemilikan parabola dan mobil. Semacam panduan menaikkan status versi era 90an.
Sementara, keluarga Budi sesuai namanya yang berbudi menerapkan frugal living tapi menyimpan kekayaan hati: jadi yang duluan mengulurkan bantuan ketika warga butuh uang (lewat pembelian sapi mahal), mobil pickup sebagai kendaraan fungsional buat angkut hasil panen, ke tanah suci untuk umroh (meski warga kemudian menggelari Ki Haji), dan tentu saja musala yang mereka bangun. Sungguh sebuah amal jariyah yang pahalanya terus mengalir. Barangkali, upaya jalur langit ini juga penyelamat mereka dari kecurangan lawan. The real Ingals!
Keluarga pak Budi memang too good to be true! Masih ada nggak ya model mas Putro di jaman sekarang (tapi nggak usah pake gombalan garingnya hahaha)
Budaya patriarki juga diselipkan dalam cerita, lewat Dodit yang dinomorsatukan dengan berbagai fasilitas. Sementara Ratih, si adik, adalah simbol perempuan berdaya yang diam-diam melawan. Sebetulnya sih saya gemes ya kenapa dia nggak ada bantah-bantahnya sama sekali atau minimal ngomong "told ya!" ketika akhirnya menang melawan sang abang (spoiler alert!).
Lho ada Nicsap 😘 |
That "mikoriza" steals my attention |
Kritik kecil dari saya, adalah adegan era Putro kecil dan Putro dewasa yang color grading-nya sama sehingga di awal agak membingungkan. Untuk memperbaikinya, bagian ini memang dikoreksi dengan makeup tua. Tapi, kayanya kalo tone warnanya dibikin beda akan lebih enak.
Apakah SBP worth to watch?
TENTU SAJA!!!
Di tengah awur-awuran dunia petani yang kian ditinggalkan, SBP semoga bisa melahirkan petani-petani milenial yang kembali pada kearifan alam. Ini juga alasan kenapa kita musti kaya raya supaya bisa menebus sawah-sawah itu dan menanaminya dengan metode nuswantoro seperti diterapkan Nugie eh pak Budi, sebelum diubah jadi bangunan mati dan kemudian kita bergantung pada pangan impor.
Oh ya, SBP baru akan tayang di 3 Juli 2025 jadi sabar dulu yaa...
Ciwi-ciwi yang sangat relate dengan isi film sungguh bahagia diajak nonton |
0 comments:
Post a Comment