Tanpa Sampah Wadah, Lebih Indah

Kemarin, saya menghadiri bincang-bincang terkait gaya hidup hijau. Karena diadakan di bulan Ramadan, acara ini jadi pilihan ngabuburit sekaligus pengingat untuk memperlakukan bumi dengan semestinya. Sebagaimana tujuan manusia diciptakan. 


Menghadirkan tiga pembicara: Tiza Mafira dari Diet Plastik, Kumala Susanto dari Hepi Circle, dan perwakilan KLHK. Sayangnya, karena kendala kepadatan jalanan menjelang jam buka puasa, saya terlambat datang dan kehilangan momen awal perkenalan. 

Diet Plastik, sudah lama saya ikuti lewat kanal Twitter dan menjadi salah satu pemengaruh saya dalam mengurangi pemakaian single-use plastic . Sekarang, mereka lebih aktif di Instagram dengan nama akun IDDKP. Diet kantong plastik memang menjadi dasar buat para pemula dalam bergaya hidup hijau. Konsumsi yang tinggi, tanpa diimbangi pengelolaan yang tepat hanya akan menghasilkan timbunan sampah kresek yang ujung-ujungnya mencemari tanah hingga laut, termasuk membunuh biota penghuninya yang mengira makanan 😭

Pemateri lainnya ada Hepi Circle (jujur baru dengar nama ini) serta perwakilan dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebatai representasi pembuat regulasi. Yang terakhir ini, monmaap saya agak skeptis hahaha. Terakhir kebijakan larangan kresek malah jadi kontroversial karena menghasilkan timbunan sampah baru berupa kemasan spunbun, selain dikeluhkan konsumen yang harus membayar lebih untuk tas non plastik ini. Sementara, kalau pakai kantong kertas selain kurang kuat untuk bawaan berupa makanan, juga mudah jebol jika dipakai buat yang basah seperti minuman. Ditambah lagi deretan orang-orang yang merasa sudah berjasa dalam program reuse dengan memanfaatkan kresek gratisan untuk... wadah sampah 😂

Lha..

Ada 5R dalam konsep hidup hijau: 

  • Refuse, tolak plastik sekali pakai yang diberikan pedagang. Di level pasar atau warung makan, bagian ini seringkali harus "adu mulut" dulu. Pernah, saya menolak kresek dari warteg. Ibu wartegnya memaksa terus, katanya "gratis kok". Hal serupa juga terjadi di sebuah resto. Waktu membungkus sisa makanan dengan wadah yang saya bawa sendiri dari rumah, pelayannya menghampiri dan menawarkan kotak makan dengan alasan gratis juga. Waduh ...
  • Reduce, kurangi konsumsi produk yang potensial menambah timbunan sampah. Ini juga kenapa saya sangat jarang jajan di layanan antar makanan, sebab pasti ada oleh-oleh tambahan berupa limbah dari kresek sampai pengemas. Belum lagi, beberapa usaha makanan skala kecil masih royal memakai styrofoam si musuh berat lingkungan. Solusinya ya saya lebih sering beli ke warungnya langsung dengan bawa wadah sendiri. Ribet? Lebih repot mengolah sampahnya...
  • Reuse, atau guna ulang ini sebetulnya kearifan yang dilakukan ibu kita jaman dulu. Saya ingat betul, ketika ke pasar ibu selalu membawa keranjang belanja sendiri, dan bentuknya bukan seperti foldable bag masa kini yang cute itu melainkan keranjang beneran. Begitu juga saat jajan di pedagang keliling, ritualnya setelah menghentikan si pedagang maka kami akan berlarian ke dalam mengambil wadah: gelas, mangkok, atau piring untuk diserahkan ke penjual sebagai wadah jajanan yang dibeli. Waktu itu, alasannya sederhana selain kebersihan, juga supaya si pedagang bisa keliling lagi tanpa menunggu alat makannya selesai digunakan konsumen
  • Repurpose or repair? Dua-duanya dianjurkan. Repurpose juga bisa berarti memanfaatkan material limbah jadi lebih berfaedah. Misalnya gelas plastik dari kopi, bisa dipakai jadi wadah alat tulis. Ada juga yang memaknai sebagai upcycle secara sederhana. Sementara repair berarti memperbaiki barang-barang yang rusak sehingga nggak perlu membuangnya. Satu hal yang saya sayangkan, makin susah nyari tukang "servis" atau reparasi payung. Mungkin karena pasarnya semakin sedikit, padahal dulu profesi ini gampang banget dijumpai dan keluarga kami adalah pelanggannya. Bisa juga karena harga payung baru juga udah murah jadi mending beli. Dengan alasan yang sama, korban kedua adalah sepatu, karena biaya reparasinya malah jadi lebih mahal daripada harga sepatu baru
  • Recycle, atau daur ulang yang bermakna mengubah limbah menjadi sesuatu yang baru sehingga menunda untuk bersemayam di TPA. Ini adalah alternatif terakhir untuk dilakukan, karena selain kapasitas pendaur ulang terbatas, biayanya juga nggak bisa dibilang murah

Walk the talk, buka puasanya pun nggak biasa karena menggunakan wadah guna ulang semua yang disediakan oleh Allas. 

 

Dalam rangka reduce dan reuse pula, ngabuburit kemarin menjadi semacam grand opening dari Alner Experience Store: toko kelontong untuk produk konsumsi dengan sistem kemasan guna ulang. Konsep ini menarik karena menerapkan sistem balikin kemasan produk berkemasan khusus yang udah kerja sama dengan Alner. Sebagai imbalannya, ada cashback yang lumayan. 

Cara kerja Alner ini simpel: kalau udah setuju kerja bareng, maka Alner akan mengirimkan kemasan kosong ke produsen untuk diisi dengan produk mereka dan dikirim balik ke toko ini. Beberapa produk juga tersedia di kanal penjualan mereka sendiri dan bisa diantar kok. 

Terpantau beberapa jenama yang akrab di telinga sudah berpartisipasi di Alner. Dua raksasa FMCG seperti Unilever Indonesia dan Wings juga ada di sini nih. Terlepas dari kontroversi boikot, ULI memang cukup aktif dalam kampanye lingkungan ini. Dua lini pembersihnya malah punya refill station (produk serupa ada di jasa keliling Siklus Refill) meski variannya masih terbatas. Jadi, tinggal datang dan bawa botol sendiri. Di luar sana, katanya udah mulai banyak. Mirip-miriplah kayak kita dulu beli minyak dan beras curah di warung ya. 

Dish washer dispencer




Berharap banget, konsep kemasan guna ulang ini makin banyak dan tersedia di ritel termasuk yang kecil-kecil. Atau, kalau mungkin jadi bisnis baru buat peluang buka cabang Alner Experience Store.  Macam waralaba minuman teh itu lho...

Share on Google Plus

About e-no si nagacentil

Cerdas, ceriaa, centil
    Blogger Comment

0 comments: