Sifat temperamental ini ditampilkan lewat sikapnya membela diri karena kerap menerima hinaan yang dialamatkan ke keluarganya dan sahabatnya, Bimo.
Sama seperti ujung Laut Bercerita yang saya perlu waktu lama untuk menyelesaikannya, ketika tulisan ini dibuat saya juga belum menamatkan Namaku Alam. Terlalu pahit dan diam-diam menyentil kelenjar lakrimalis untuk kemudian diteruskan pada hidung, ujung mata, dan akhirnya jemari yang lantas meraih lembaran kain untuk menyekanya.
Namaku Alam, masih mengupas kehidupan orang-orang yang dilabeli "tergabung dalam organisasi terlarang", bagaimana keturunannya (yang kadang gak habis pikir lha wong lahirnya aja puluhan tahun setelah kejadian) harus bertahan hidup dalam tudingan untuk yang tidak pernah dilakukan.
Alam kecil tidak pernah bertemu bapak, ketika lelaki itu dieksekusi ia masih sangat dini di fase bayi.
Saya suka sekali pada diksi yang dipilih penulis untuk menggambarkan setiap peristiwa dalam buku ini. Emosi saya mendidih ketika Alam dihina saudaranya, otot mata saya sekuat tenaga menahan agar bendungan di dalamnya tidak jatuh ketika ibu Alam didera penyiksaan seksual (di sini Leila mendeskripsikan sebagai kancing baju terbuka dan rambut acak-acakan, dan serta merta mengambil alih ketika anak putri remajanya ditengarai akan diperlakukan demikian), dan tentu saja saya merasa seperti menjalani kehidupan remaja 80an saat Alam di bangku SMA.
Kalian ingat cerita detektif Lima Sekawan yang kerap bikin lapar karena Enyd Bliton melukiskan kelezatan menu piknik dengan sempurna?
Bagian ini juga ada di Namaku Alam:
Selebihnya silakan baca sendiri dari bukunya ya 😉
Saya kembali berandai-andai, kalau buku ini difilmkan siapakah yang layak memerankan Segara Alam? Dulu, imajinasi saya melukiskan Ario Bayu tepat setelah menamatkan Pulang. Kalau sekarang?
3 comments:
seperti biasa, reza.
re: jika difilmkam
Hahaha Reza udah di Laut Bercerita tapi
This is awesoome
Post a Comment