Ramai soal kebiasaan hidup hijau yang berakar dari 3R: Reduce, Reuse, Recycle, kalau saya pikir-pikir dan telaah sebetulnya pola ini sudah menjadi kebiasaan pada masa bocah dulu.
Reduce
Artinya mengurangi produksi sampah. Belakangan ramai gerakan makan tanpa sisa. Saya jadi inget "ancaman" ibu jika kami anak-anaknya menyisakan hidangan. Lewat fear mongering dan menciptakan rasa bersalah, bukan cara yang benar memang, tapi berhasil tertanam dalam otak sehingga sampai sekarang rasanya dosa besar kalau nggak menghabiskan makanan. Tentu saja "nanti nasinya nangis" adalah kata mutiara yang masih nempel sampai sekarang.
Kebiasaan ibu-ibu bawa makanan dari arisan atau pengajian juga salah satu bagian kearifan lokal dalam konteks mereduksi kemungkinan sisa pangan terbuang. Nggak perlu malu minta bungkus makanan yang nggak habis. Bukan nasi yang menangis, tapi tim kitchen dan petani jadi sedih kerja kerasnya tersia-siakan.
Reuse
Diturunkan menjadi banyak format: wadah guna ulang, baju/sepatu dan barang bekas lain. Dulu-dulu sih rada malu ya maklum namanya juga anak-anak kayaknya kalo nggak baru nggak afdol. Tapi, tanpa sadar justru kondisi kepepet ini yang bantu mengurangi limbah tekstil atau tumpukan plastik di TPA.
Konsep guna ulang juga sudah diterapkan ibu-ibu kita setiap ke pasar, mereka membawa keranjang belanja sendiri (sekarang dikampanyekan lewat reusable bag). Sebelum era layan antar dan marketplace, kalau mau jajan makanan/minuman gerobakan biasanya kami menenteng mangkok/gelas sendiri dari dapur. Alasan utamanya sih hiegienitas sebab ibu kami khawatir kalo penjualnya kurang bersih dalam mencuci alat makan. Alasan kedua: supaya penjualnya bisa lanjut keliling tanpa harus nungguin kami selesai makan.
Pada masanya, tukang roti keliling juga masih pakai kertas untuk membungkus roti-rotinya (inilah yang disebut kertas roti). Sayang, era kiwari mereka lebih memilih membungkus satu-satu sejak keluar dari pabrik. Bersih sih, cuma ya jenis plastik ini bukan yang gampang didaur ulang.
Recycle
Daur ulang adalah kata-kata yang sangat akrab buat keluarga kami. Dengan tujuh anak dan umur yang berdekatan, bukan hal gampang untuk selalu beli pakaian/sepatu dan mainan baru. Untuk menyiasatinya, biasanya Ibu membongkar pakaian lama jadi baju yang (terlihat) baru. Boneka "Barbie" yang saya mainkan dibuat dari selimut bekas.
Satu kenangan masa sekolah yang saya ingat betul adalah kreativitas kakak (jarak usianya lumayan jauh, dia sudah masuk usia 20an ketika saya SD) mengubah karung goni jadi tas serut. Agar menarik, tas ini dihiasi boneka kain. Kalau saja tas itu saya pakai di era sekarang, pasti udah viral dan laku terjual. Sayangnya, akhir 80an karya daur ulang ini malah jadi ledekan teman-teman yang menganggap barang baru itu keren.
R berikutnya kombinasi dari ketiga unsur ini: repair alias reparasi. Karena beli baru = mahal sementara keuangan kami cenderung pas-pasan, memperbaiki barang rusak bukan hal yang asing. Menjahit baju bolong, bahkan menyiasati sepatu kanvas yang bagian jempolnya menyembul kaos kaki alias bolong dengan bantuan plester + semir sepatu adalah cara kreatif kami untuk menekan biaya sekaligus (ternyata) mengurangi limbah tekstil.
Tukang "serpis", sebutan bagi jasa reparasi, menjadi langganan kami dan biasanya sudah hapal mana yang bagus sehingga kalau sepatu rusak nunggu si Mang A. Jujur saya kehilangan jasa "serpis" payung, sesuatu yang main langka. Dulu kalau payung kami rusak, ya nunggu si mamang "serpis "payung langganan.
Sekarang, dengan harga barang yang makin murah tentu orang lebih memilih beli baru. Kegiatan melukis ulang tumbler yang udah mengelupas juga dianggap buang-buang uang dan waktu, sebab harga tumbler baru bahkan lebih murah 😣
Bukan berawal R, tapi ketika gaya hidup vegan dan meatless digaungkan sebagai upaya mengurangi gas metan, kami juga sudah melakukannya. Bedanya, waktu itu nggak ada pengetahuan soal metana. Alasannya: harga, ya pada masanya harga daging memang cukup mahal sehingga hanya disajikan di acara istimewa seperti hari raya. Kebiasaan yang membuat perut saya juga punya preferensi mengonsumsi nabati ketimbang hewani.
Kita tuh emang seringnya mendongak ke atas, sampai lupa bahwa apa yang ada sudah menjadi tradisi sebetulnya lebih ramah pada bumi.
.png)

0 comments:
Post a Comment