Jujur, saya sempat punya fobia pada orang Batak. Waktu SD dulu, jalur pulang sekolah melewati rumah yang bagi kami bocil-bocil sangatlah mengerikan akibat framing oleh teman sekolah dan diwariskan dari kakak-kakaknya. Rumah tersebut dihuni oleh seorang pria berumur, botak, dan dari suku Batak. Kami menyebutnya Om Batak. Kalau kebetulan lewat dan dia melihat, habislah riwayatmu.
Saya sendiri belum pernah ketemu Om Batak, kalau terpaksa lewat maka saya (dan teman-teman) akan lari sekencang mungkin supaya tidak sampai dipergoki si om. Sampai sekarang saya tidak tahu kenapa rumor kekejaman si om bisa beredar. Sebab, tak satu pun teman sekolah saya yang jadi korban. Apalagi sampai dimakan seperti anggapan yang sempat beredar bahwa orang Batak suka makan orang.
Kalau dipikir, gila juga sih yang bikin gosip ini ya. Logikanya, tetangga sesadis itu tinggal di komplek padat yang dindingnya batako dan mepet-mepet, kok bisa nggak ada yang tau ya? Kecuali dia punya ruang bawah tanah seperti psikopat di film.
Orang Batak emang distigmakan keras, kata Gita Bebhita dalam cuplikan video promo film terbarunya bertajuk Ngeri-Ngeri Sedap.
Ada banyak film yang mengangkat kultur Batak, tapi sepertinya Ngeri-Ngeri Sedap ini totalitas sampai seluruh pemeran utamanya pun berdarah Batak atau minimal anak Medan. Mereka adalah: Arswendi Nasution, Tika Panggabean, Boris Bokir Manullang, Gita Bebhita, Lolox, dan Indra Jegel. Tiga nama terakhir ini memang jarang mencantumkan nama marga di belakangnya ya.
Jangan tertipu pada casts, sebab meski peran utama diisi komika (kecuali Arswendi yang loncat dari sinetron drama 90an ke salah satu kesayangan Joko Anwar karena nyaris ada terus di filmnya hehehe), film ini bukan komedi melainkan drama keluarga.
Adalah pasangan pak Domu dan Mak Domu, yang menahan rindu tahunan untuk bertemu tiga anak mereka: Domu, Gabe, serta Sahat. Sayang, "pertentangan" mereka dengan bapak yang keras hati membangun tembok gengsi yang semakin tinggi.
Domu (Boris Bokir) si sulung, dianggap mengkhianati adat karena menjalin kasih dengan mojang Sunda. Keras hatinya si bapak, membuat kesuksesan Gabe (Lolox), si anak ketiga, sebagai pelawak terkenal juga tak berarti karena profesi ini tidak memberi kebanggan. Bapak mau Gabe jadi hakim, sesuai ijazah sarjana yang dipegangnya.
Si bungsu Sahat (Indra Jegel) juga enggan pulang, dia sudah menemukan kedamaian di Jogja membesarkan usaha bersama pak Pomo, lelaki Jawa yang tinggal sebatang kara. Ini juga masuk pengkhiatanan bagi bapak Domu karena anak bungsu laki-laki Batak seharusnya di rumah merawat orang tua.
Satu-satunya yang tidak merantau, Sarma (Gita Bebhita yang sama sekali tidak membuat tertawa di sini) barangkali anak paling berbakti karena berkarir sebagai PNS meski dulu dia bercita-cita melanjutkan sekolah masak.
Pak Domu adalah kebanyakan orang tua generasi boomer yang mengedepankan tradisi, pelestari adat, serta kaku. Buatnya, citra sebagai keluarga idaman lebih penting ketimbang perasaan istri dan anak-anaknya. Maka, berpura-pura bahagia di depan amang pendeta adalah santapan harian.
Demi menyenangkan opung dalam sebuah pesta adat, Pak Domu dan istri pun memutar otak supaya anak-anak mereka mau pulang. Strategi pura-pura cerai pun disusun, berhasil, ketiga anak lelaki itu pun pulang kampung.
Kebohongan, hanya akan mengundang rentetan kebohongan lain. Demi menahan anak-anak, pasangan ini terus menambahkan kepura-puraan yang pada akhirnya memuncak jadi permintaan cerai betulan dari mak Domu.
Mengangkat keseharian suku Batak yang natural seperti kebiasaan bapak-bapak nongkrong di lapo dan kuatnya patriarki, dengan bingkai keindahan Danau Toba, Ngeri-ngeri Sedap menyelipkan kelucuan dalam dialog yang tak garing. Celetukan mak Domu atas dominasi pak Domu misalnya, tertuang sebagai "Danau Toba ada juga karena kau" misalnya.
Ulasan yang sliweran di Twitter tak henti-henti menyisipkan pesan "siapin tisu untuk menahan air mata yang berderai tanpa permisi". Betul juga, keharuan yang tercipta sulit buat dihindari. Inilah gunanya lampu bioskop dimatikan, supaya tidak ketahuan kalau diam-diam mbrebes mili.
Terlalu banyak pesan baik dalam Ngeri-Ngeri Sedap. Bahwa benturan antara adat dan perubahan jaman, tak seharusnya terjadi kalau kita mau kompromi. Demikian juga pesan menohok opung: jadi orang tua itu tidak bisa berhenti belajar. Beda masa, beda pula cara mendidiknya.
Film konon juga sebuah diplomasi kuliner. Jika Aruna dan Lidahnya membuat saya penasaran luar biasa pada choipan, Ngeri-Ngeri Sedap mungkin akan membuat mi gomak naik pamor. Sajian mirip pasta Italia ini, bolak-balik muncul dan menjadi sajian pemersatu keluarga. Masakan ibu mamak memang paling enak karena dibuat dengan cinta, ini ada benarnya.
Setelah ini, rasanya jadi pengen menikmati mi gomak di tepian Danau Toba yang nauli.
0 comments:
Post a Comment