Saya nggak anti vegan, tapi sama seperti campaign lain yang berlebihan, ujung-ujungnya jadi bikin sebal dan malah nggak respect.
Ada banyak alasan orang menjadi vegan. Berbeda dengan vegetarian yang masih mengonsumsi susu dan telur seagai produk turunan, vegan bisa dibilang lebih "radikal" karena menolak sama sekali untuk pemanfaatan hewan untuk dimakan maupun kepentingan eksperimen.
Selain alasan keyakinan atau belief, cinta lingkungan sering dijadikan tameng untuk memaksakan menjadi vegan. Saya sebut "maksa" karena faktanya kampanye yang gencar dilakukan ini betul-betul membuat kaum omnivora merasa bersalah besar pada bumi.
Kontribusi gas metan yang dihasilkan dari hewan ternak seperti sapi, adalah alasan kuat kenapa kita (dipaksa) harus menghindari makan daging. Berikutnya, alasan kemanusiaan karena seringkali ternak maupun unggas diperlakukan sangat kejam dengan dalih pemenuhan kebutuhan pangan.
Dulu, saya pernah diprotes rekan kerja yang merupakan ekspat asal India. Bukan cuma anti makan sapi, dia juga vegan bahkan ketika ditawari keripik singkong pun harus dipastikan dalam produksinya sama sekali nggak melibatkan satwa. Di satu sesi nongkrong sore, dia juga menceramahi kami para omnivora betapa kejamnya makan daging ayam karena menyebabkan anak-anak ayam menjadi yatim piatu 😓
Saya sendiri sebagai omnivora sesuai kodrat, bukan penyuka daging. Sistem cerna kita memang tidak didesain untuk itu, dari susunan gigi hingga kemampuan lambung, makan daging terlalu sering membuat perut saya tidak nyaman. Kata artikel di majalah kesehatan, daging butuh waktu tiga hari untuk bisa dicerna sempurna.
Sedari kecil, saya juga lebih terbiasa mengonsumsi sumber protein nabati karena alasan harga yang lebih terjangkau. Kami memiliki ayam peliharaan, yang dirawat dan dijaga tanpa penyiksaaan macam peternakan unggas. Ayam-ayam ini dilepas setiap habis subuh, dan menjelang senja akan digiring kembali ke kandang. Di hari terang benderang, mereka bebas makan apa saja dan bisa bergerak sesuka hati. Tak heran, jika tiba waktunya ayam ini menuntaskan hidupnya di dunia dan berakhir di piring saji, mereka menghasilkan daging yang lebih lezat ketimbang ayam broiler.
Tentu saja, ayam-ayam ini tidak kami konsumsi setiap hari. Hanya di momen khusus atau jika salah satu dari mereka terlihat tidak sehat barulah masa bakti mereka di dunia selesai (syukurlah kami tidak pernah terpapar penyakit akibat makan ayam sakit).
Sapi dan kambing, bisa dibilang makanan langka yang hanya dinikmati setahun dua kali saat hari raya. Harga daging bagi kami cukup mahal, sehingga hanya di dua lebaran bisa berpestapora menikmati kemewahannya.
Sekarang, bayangkan ketika saya merasa ingin memberikan self reward karena sudah mampu beli daging lalu diceramahi soal dampak negatif dari sapi-sapi terhadap perubahan iklim. Ya ampun, makan daging aja jarang tau-tau dituduh berkontribusi merusak bumi 😐
Bukan salah sapi, tapi lagi-lagi manusia terlalu rakus dan menggenjot produksi daging lewat berbagai cara yang menyiksa. Nggak perlu disebutin lah ya, berbagai akun dengan modus penyayang satwa pasti punya jawabannya. Salah satu ilustrasi kerakusan manusia adalah film Okja, udah nonton? Ini cuplikannya:
Seburuk-buruknya tips adalah mengajarkan bagaimana cara membuat telur sintetis berbahan kimia pabrik, dari sebuah akun yang takarirnya pun kelihatan terjemahan abis. Kalau mau protein, ya nikmati aja dari bahan lain yang lebih natural: jamur, kedelai, tempe misalnya, tanpa harus melalui banyak proses alias ya udah dibumbuin aja.
Saya juga nggak merasa perlu untuk mengunjungi resto khusus sajian vegan agar bisa menyantap plant based menu. Kantin dan warung Sunda sepertinya lebih banyak pilihan yang lezat tanpa menguras kantong. Balik lagi, kecuali masalah belief, plant based menu bukan seperti halal-haram yang memang menghindari bercampurnya dua unsur ini.
Ngomong-ngomong, saya jadi penasaran apakah makan ikan dan hewan air (yang bukan satwa langka) juga bagian dari dosa pada lingkungan?
0 comments:
Post a Comment