Bertandang ke LBM Eijkman

Ini bukan pertama kali saya mengunjungi Eijkman Institute atau Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman. Jaman orientasi maba, lembaga riset ini jadi salah satu target tujuan wisata kunjungan untuk mengenal institusi mana aja yang nantinya bisa menampung para alumni. Gini-gini saya pernah kuliah di Biologi UI loh mwehehehe...

Sekilas tentang Eijkman, awalnya bernama Geneeskundig Laboratorium alias Central Laboratory of Public Health. Sesuai namanya, waktu didirikan tahun 1888 tujuannya untuk layanan kesehatan masyarakat. Sempat tutup tahun 1960an, LBM Eijkman dibuka lagi pada 1990 oleh bapak ristek kesayangan kita B.J. Habibie. Gak aneh kalau di salah satu ruangan gedung ini terpampang wajah eyang Habibie bersama mendiang Christiaan Eijkman sebagai direktur pertama. 



Sering main ke Salemba? Nah, LBM EIjkman ini posisinya merapat sama RSCM dan menempati gedung tua yang klasik khas peninggalan Belanda. Kayaknya kalo saya jadi pegawai Eijkman bakal sering-sering posting OOTD di setiap sudutnya hahahaa... 

Kedatangan saya ke Eijkman kali ini adalah karena daya pikat sebuah undangan seminar awam tentang Coronavirus. 



Itung-itung sekalian reuni sama alumni yang berada di jalan yang benar  yang berkarir sebagai peneliti. 


Keliatan gak bedanya mana peneliti dan pengabdi konten?

Entah topiknya yang lagi hawt banget, atau memang banyak yang dipaksa dateng sama kantornya hehehe animo yang tinggi terhadap fakta soal Coronavirus... yang jelas kapasitas ruang auditorium sebanyak 70 orang ini gak cukup karena total pesertanya di angka 190 orang!!! Setinggi itu antusiasmenya gaes... 

Meski judulnya "seminar awam", rasanya udah kayak dateng ke paparan ilmiah saintis hihihi. Jujur yah, cara pemateri membawakan presentasinya baik dari komunikasi maupun tampilan slide masih sangat formal. Untung yee pernah terbiasa dengerin kayak ginian pas jaman kuliah dulu (berapa puluh tahun yang lalu ya itu? 🤔). 

Materi pertama soal Komunikasi Risiko: Pentingnya Sains dalam Krisis Coronavirus di Indonesia, penyampainya wartawan Kompas. Konklusi dari mas Ahmad Arif ini simpel aja: bahwa sains sejatinya menjadi sendi penopang dalam komunikasi risiko. Ofkrosdaa..... kan capek kaan baca broadcast hoax dan disinformasi soal Coronavirus. Sayangnya kemampuan para pakar yang kompeten dalam hal keilmuan sekaligus komunikasi itu sungguh sedikit. Dan ini adalah salah satu cara bicara soal pemakaian masker terkait Coronavirus yang bagus menurut saya


Sementara, ini sebagian tampilan paparan para ilmuwan soal riset Coronavirus





Mumet?

Sama hehehe... untungnya masih ada residu mata kuliah biologi molekuler yang tersisa dalam memori otak. Yaa mirip-miriplah sama dengerin presentasi dari programmer yekan?

Kesimpulan dari paparan ilmuwan Eijkman ini sebetulnya sederhana kok. Pertama, tentu saja publik harus memahami bahwa virus ini sebetulnya krisis jati diri antara mahluk hidup atau bukan, karena komponen selulernya gak memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai living things. Sementara, sebagai benda mati juga kok gak pas karena virus punya kemampuan mereplikasi alias berkembang biak. Hanya saja, karena ketidaksempurnaannya itu virus butuh partner lebih dari sekadar pasangan hidup. Virus perlu tumpangan bernama inang untuk melanjutkan proses perkembangbiakan.

Sama kayak nyari pasangan, virus bisa lanjut ke proses berikutnya kalau klik sama pasangannya dalam bentuk kecocokan reseptor berupa asam amino. Naaaah di gambar di atas itulah reseptor diterjemahkan dalam bentuk kode-kode. Dengan ukuran tubuh level molekuler, perlu perlakuan tersendiri untuk mengenali virus dan keluarga besarnya ini. kalau udah kenal tinggal sayangnya akan lebih mudah lagi untuk mendeteksi dan melakukan riset penanangan wabah yang disebabkan oleh virus. Inilah salah satu yang dilakukan oleh LBM Eijkman dengan peralatan lab canggihnya. Udah kayak di film science fiction

Coronavirus sendiri sudah menjadi bagian dari penelitian LBM Eijkman sejak lama, dan kelompok virus yang serupa juga menginfeksi SARS serta MERS. Tapi ya namanya virus kan cepet banget berubah-ubah. Simtom Coronavirus yang asalnya dari Wuhan ini, kemudian dinamai WHO sebagai Covid-2019 untuk ngebedain dengan kasus sebelumnya. 

Pemunculan pertama kasus Coronavirus asal Wuhan ini sempat diwarnai isu kebiasaan makan daging kelelawar dan hewan lain yang gak lazim. Pasti kamu pernah terpapar broadcast atau postingan soal "hikmah larangan makan daging kelelawar, babi dan lain-lain yang diharamkan" kan? Betul nggak sih?

Soal ini ternyata ada disinformasi, dan paparan penelitain di seminar ini menyebutkan bawa risiko tertinggi penularan Coronavirus bukan pada masakan daging yang dikonsumsi, tapi di level pemburu dan pengolah termasuk penjual dagingnya di pasar. Satwa liar yang dikonsumsi ini punya peluang menjadi reservoir atau tempat hidup sementara Coronavirus. Secara fisik, satwa ini kelihatan sehat wal afiat. Tapi, begitu ketemu mahluk hidup lain yang cocok jadi inang atau host virus-virus ini akan segera migrasi untuk kemudian menginfeksi. 

Apa aja satwa liar yang berisiko jadi reservoir Coronavirus ini dan gimana sih proses penularannya?





Rentang inang Coronavirus, manusia termasuk  nih (modelnya si pak profesor sendiri kayaknya hahaha) 



Pak peneliti yang juga dokter hewan dari IPB ini secara rutin melakukan surveilans, dan setiap hasil risetnya akan dirilis untuk kemudian dimanfaatkan bagi kemaslahatan umat. Yaaaa maksudnya sebagai pertanggungjawaban kalo ada kejadian terkait wabah kayak gini loh..

Praktik konsumsi satwa liar ini memang seharusnya pelan-pelan dihapuskan (gak bisa langsung yaaa karena terkait kultur juga), apalagi beberapa spesies yang diburu ini juga mengancam kelangsungan konservasi dan ekologi. Masalahnya, di mana ya kita bisa lihat laporan semacam ini dengan komunikasi yang mudah dipahami?


Share on Google Plus

About e-no si nagacentil

Cerdas, ceriaa, centil
    Blogger Comment

2 comments:

Zam said...

intinya kalo tubuhnya sehat, virus ngga akan bisa bercokol. gitu, kan?

nagacentil said...

Idealnya begitu, mari kita upayakan