Halal atau haram? Buat sebagian muslim -- disebut sebagian karena sebagian muslim lainnya gak merasa bersalah ketika menenggak tequila atau vodka -- adalah hal yang musti. Seperti halnya kaum Yahudi taat dengan koshernya. Ingat ketika isu minyak babi menelusup dalam mi instan yang langsung bikin masyarakat kita parno terhadap konsumsi jenis ini? Juga ketika Aji-no-moto terjerat keterlibatan enzim babi dalam media penumbuh bakterinya, dibutuhkan waktu yang gak sebentar untuk memulihkan kembali kepercayaan publik.
Rentannya status halal dan haram produk konsumsi, akhirnya mengusung MUI sebagai lembaga paling diandalkan konsumen muslim Indonesia pada satu mekanisme sertifikasi. Sebuah prosedur yang menyatakan status kehalalan produk konsumsi dalam bentuk selembar kertas. Bukan kertas biasa tentu, karena kertas ini baru bisa diperoleh kalau si pengaju -- dalam hal ini produsen -- lulus uji bukan cuma oleh LPPOM MUI melainkan BPPOM.
Permasalahan timbul ketika sertifikasi, seperti halnya sertifikat kesarjanaan dan keahlian menjadi semacam justifikasi bagi keabsahan, kemudian dianggap sebagai surat sakti yang dipercaya mampu memberi rasa aman bagi konsumen. Prosedur yang berbelit, memicu peluang terjadinya praktek sertifikasi halal yang haram. Disebut demikian karena bisa diperoleh melalui jalur ilegal. Lewat tayangan investigasi di layar beling minggu lalu, si oknum penyedia sertifikat halal bisa mengupayakan kertas sakti tanpa perlu pemeriksaan yang memakan waktu gak sebentar.
Sebagai negara pehobi korupsi, gak heran kalau setiap kebijakan selalu menghasilkan peluang buat menambah gemuk pundi-pundi lewat jalur yang gak sah. Kalau pegawai Departemen Agama aja bisa menangguk keuntungan lewat ritual haji, sertifikasi halal rupanya juga memicu beberapa orang --pelaku ditengarai bukan dari internal MUI-- untuk membuat sertifikat halal yang haram.
Buat pelaku industri skala raksasa, tentu bukan masalah. Tapi bagi pengusaha warung makan atau skala liliput bisa jadi batu sandungan ketika konsumen bawel mempertanyakan apa betul produknya halal? Sertifikatnya mana?
IMHO, menyikapi tuntutan konsumen yang selaiknya boleh disyukuri ini gw sendiri punya pendapat lain. Sebagai penganut paham imunologi sejati, menurut gw yang perlu dilakukan MUI adalah mengkomunikasikan batasan halal dan haram pada publik. Utamanya para pelakon industri konsumsi.
Gw sempet berfikir, mungkinkah MUI bikin roadshow atow ngumpulin massa yang bergelut di indsutri konsumen untuk sosialisasi halal haram ini? Bergerak dari satu area ke area lain buat mengedukasi publik bahwa halal dan haram bukan cuma sebatas steril dari unsur babi, melainkan ada banyak unsur terkait seperti proses produksi dan sebagainya. Dengan demikian, publik bakal memperoleh ilmu tambahan yang pasti berguna banget dalam kelangsungan jalur menggapai rizki-nya yang halal dan baik.
Sertifikasi, IMHO lagi, sensitif dan rentan terhadap ketidak-update-an status halal tersebut. Masa berlaku yang sebentar, memungkinkan pemilik sertifikat masih memajang sertifikat tersebut selamanya, meski udah kadaluarsa. Yang penting, waktu konsumen dateng ke warungnya mereka liat ada sertifikat halal... beres !!!
Sementara dengan menanamkan kesadaran dalam otak dan hati pelaku industri itu, harapan gw sih mereka bakal memberikan layanan terbaik pada konsumen dengan penuh cinta dan dengan hati. Jadi, implementasi hanya menyajikan produk halal dalam usahanya bukan keterpaksaan semata.
Gimana?
- Blogger Comment
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
2 comments:
yang juga saya takutkan itu apabila setelah mendapat sertifikat itu, tiba-tiba perusahan yang memproduksi makanan tersebut merubah ingredient menjadi tidak halal. walaupun pernah baca-baca katanya MUI suka mengadakan inspeksi mendadak...
kayaknya kalo vodka gak usah di kasih label haram deh.... huhuhuhuhuh (tapi tetep gw doyan) wekeke:p
Post a Comment