“Ngebakso yuk!”
Ajakan itu muncul di grup WhatsApp saya suatu sore, ketika
hujan mengguyur rata Jakarta dan sekitarnya. Siapa yang bisa menolak pesona
bulatan daging dalam kuah kaldu pengusir dingin (dan lapar tentunya) asal
negeri tirai bambu itu? Maka, ajakan itu saya respon dengan jawaban singkat:
“Yuk, di mana?”
Surprisingly, yang ngajak ngebakso menyebut satu kawasan
bernama Mangga Besar sebagai destinasi ngebakso minggu sore itu. Hah? Mangga
Besar yang mana ini? Dalam hati saya berharap kawasan yang dimaksud bertempat
di seputaran Jati Padang (meski agak bingung sebab setau saya di daerah yang
nyaris tiap hari saya lewati itu nggak ada bakso yang kesohor enaknya).
Teka-teki si Mangga Besar terjawab ketika teman saya menyebutkan daerah yang
dimaksud ada di Jakarta Pusat.
“A Kiauw, namanya bakso A Kiauw” imbuh teman saya.
Dari namanya aja udah mencerminkan wilayah mana yang
dimaksud kan? Entah kemampuan membujuk negosiasi teman saya yang mumpuni
atau memang rasa penasaran mengalahkan segalanya, maka berangkatlah saya ke
kedai bakso yang dimaksud. Berbekal panduan HereDrive dan Google Maps, sampai
juga di Bakso A Kiauw yang dituju. Eh, ditambah sedikit telpon sana-sini pada
penguasa daerah sih hihihi..
Berada di area Pecinan, bakso A Kiauw menempati ruko berdesain
lawas yang cukup luas. Ada yang bilang, rumah makan enak itu bisa dilihat dari
bejubelnya tamu atau ramenya antrian, dan Bakso A Kiauw memenuhi dua syarat
itu. Beruntung saya bertiga masih dapat kursi.
Menilik namanya, sebetulnya saya sedikit waswas kalau-kalau si bakso ini menyelipkan printilan babi dalam menunya. Syukurlah dari menu yang dipajang
besar-besar di tembok, Bakso A Kiauw hanya menyediakan bagian tubuh sapi dalam
sajiannya. Karena nggak terllau suka daging, saya memilih bakso “paket” yang
berisi butiran bakso, babat, serta daging sengkel tanpa mi alias kosongan.
Tak sampai 10 menit, semangkok bakso dengan kuah panas
mengepul tiba di hadapan saya. Disusul segelas es liang teh (saya pesan ini
karena penasaran sih hahahaha) tombo haus. Untuk ukuran rumah makan dengan
kepadatan luar biasa, perlu diacungi jempol tangan dan kaki sekaligus karena
layanannya bisa dibilang cepat. Bandingin deh sama resto “modern” yang butuh
kesabaran esktra buat nunggu pesanan dateng 8))
Penampakan bakso A Kiauw sekilas sama aja dengan bakso-bakso
lain. Butiran baksonya tetap bulat, babat dan daging sengkel diiris tipis
tersaji dalam kuah kaldu panas. Keistimewaannya baru terasa ketika potongan
daun ketumbar (yang ditempatkan terpisah) pada bakso. Luar biasa sedap! Kalau
bakso biasa memakai seledri, Bakso A Kiauw memilih daun ketumbar sebagai agen
anti-mblenger yang biasa timbul ketika
makan bakso berporsi besar. Dan hey, irisan daging sengkelnya yang cantik itu
juga terasa sedikit manis menyenangkan. Biasanya sih irisan daging dalam kuah
bakso itu rasanya datar aja. Dan untuk mengimbangi gurihnya bakso, saya memesan
es liang teh. Seger!
Menilik tingginya antusiasme penikmat bakso yang rela antri,
tampaknya bakso A Kiauw memang istimewa. Bukan cuma rasa tapi juga layanan dari
si empunya yang gak segan terjun langsung memantau ketersediaan kursi buat para
tamu. Begitu ada kursi kosong yang sesuai dengan jumlah grup tamu, si encik
langsung menyilakan pengantri buat duduk. Di depan saya, duduk seorang bapak
separuh baya yang tampaknya pelanggan lama. Datang sendirian, bisa dipastikan
si bapak pasti penyuka bakso A Kiauw. Benar saja, ketika iseng-iseng saya ajak
ngobrol, si bapak bilang sudah bertahun-tahun nggak makan di sini. Semacam
pelampiasan kangen pada nikmatnya si bakso nampaknya…
Satu kesan yang melekat ketika saya beranjak pergi (musti
tahu diri ngasih kursi buat yang antri dong!), keramahan para tamu masih
tersisa di sana. Usai menyantap baksonya, bapak tua yang sempat saya ajak
ngobrol tadi pamitan sambil tersenyum ramah. Pemandangan yang sungguh langka di
tempat makan umum di Jakarta.
2 comments:
kalo bakso tep lah mba, bakso malang jagoane \m/
Ah, I have mixed feeling about bakso.
Post a Comment