Belajar Bahasa Isyarat, Buat Apa?



Bahasa apa yang menurut kamu menarik buat dipelajari?

Dulu, saya terobsesi sekali dengan bahasa Perancis. Kayak keren aja gitu bisa parles Francais yang sengau-sengau (katanya) seksi sekaligus elegan. Padahal goals-nya supaya bisa nyebut beragam jenama dan nama berbau Perancis dengan benar sehingga nggak kayak SPG toko sepatu Les Femmes yang teriak-teriak memanggil calon pembeli dengan pronounce seperti "less famous" 😳

Keinginan ini tercapai, lulus kuliah dalam keadaan gamang karena merasa keahlian nggak cukup menjual buat bertarung sementara menjadi peneliti bukan jalan ninjaku. Alhamdulillah selesai juga satu level dan nggak malu-maluin kalo pesan croissant atau mille feuille hihihi... 

Di waktu yang sama, saya juga mengambil kursus bahasa Mandarin. Sesuatu yang terjadi tanpa sengaja gara-gara dijeblosin temen tapi saya syukuri karena suatu hari kelak jadi nilai tambah waktu wawancara kerja.  

Bahasa Perancis dan Mandarin, keduanya punya keunikan tersendiri. Mandarin sebetulnya punya tata bahasa yang sangat simpel, hanya saja huruf yang dipakai dan pelafalan dengan intonasi berbeda cukup bikin kepala muter. Sementara Perancis, lengkap penuh "penyiksaan" berupa pelafalan yang beda di tulisan serta grammar cukup bikin pusing.

Kedua bahasa itu memang belum lagi saya dalami, meski sempat mengakrabi lagi lewat Duolingo. 

Selanjutnya, apa?

Kembali ke akar, saya pernah tertarik mendalami bahasa Jawa kromo inggil. Keinginan ini meluntur gegara... respon teman yang kurang menyenangkan (halo lidah emang susah dijaga ya!). "Elo mah gak pantes", simpel ya tapi nancep dalem banget dan susah hilang bekasnya 😓

Ya udahlah ya..

Keinginan belajar bahasa lalu melirik ke bahasa isyarat. Sayangnya, akses ke sini beberapa tahun lalu, masih susah banget. Informasinya seperti dikunci dalam kotak dan disimpan di menara, dijaga oleh emak tirinya Rapunzel. 

But yeah, semua akan indah pada waktunya kan...

Sisi positif dari pandemi, paparan tentang bahasa isyarat ini menyeruak lagi. Dari larangan ngobrol di kendaraan umum, kepala saya kemudian berpikir kayaknya asik kalo bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat (setelah belajar beneran ternyata khayalan ini harus patah karena berbahasa isyarat tetap membutuhkan gerak bibir dan ekspresi).

Semacam petunjuk Tuhan, deras banget petunjuk untuk mendalami bahasa ini. Dari yang pelamar didiskriminasi karena dia tuli, mensos yang nggak ada empati pada teman tuli, sampai hijrahnya seorang pemain band ke dakwah buat teman tuli. Seperti menggiring saya untuk mewujudkan keinginan yang belum terwujud itu.

Dan, jalan ke sana pun makin diarahkan.

Lewat jejaring, saya dikenalkan pada penyelenggara kursus bahasa isyarat Pusbisindo. Ini pun nggak segampang yang diduga karena ternyata berebut kursi kelasnya udah kayak ticket war idol K-Pop 👀

Alhamdulillaah segala drama membuka pintu dunia tuli itu sudah bisa diterabas. Sekarang, saya baru saja mengakhiri tingkatan tertinggi di kursus bahasa isyarat Pusbisindo alias level 3. Selesai? Belajar tak pernah usai. Sama seperti bahasa lainnya, saya masih butuh mitra untuk mengasah kemampuan ini sebelum (mungkin nanti) menjadi penerjemah atau juru bahasa isyarat misalnya.

Tentang belajar bahasa isyarat ini, jujur nggak semua respon dari teman-teman itu menyenangkan. Karena kita memang nggak bisa bikin semua orang senang ye kan? Ada yang langsung bilang begini "ngapain lo belajar isyarat? Mau jadi bisu?" waktu saya menginfokan kegiatan terbaru ini.

Ada juga yang mungkin sebetulnya curious tapi disampaikan dengan cara kurang asyik dan nirempati, sehingga terdengar nyinyir. Apalagi, ketika tau bahasa isyarat itu beda daerah tidak sama kosa katanya. Pun, fakta bahwa bahasa isyarat bukan bersifat global seperti bahasa Inggris. "Lah kalo gitu repot juga dong!"

Apa pun, buat saya itu justru jadi semacam tantangan untuk mengedukasi biar lebih banyak lagi yang mendalami bahasa ini. Mengasah kemampuan berbahasa, cara satu-satunya adalah dengan menggunakannya bersama native speaker alias banyak bergaul dengan teman tuli. Bersyukur, sekarang semakin banyak yang mempekerjakan teman tuli sehingga peluang saya buat berlatih.

Cek tulisan saya tentang barista difabel tuli di sini ya

Sama seperti penutur bahasa asing, teman tuli pun akan sangat senang jika kita bisa berkomunikasi menggunakan bahasa mereka. Ini terjadi semalam, saat bertandang ke Starbucks Signing Store di Tata Puri. Menjelang pulang, sepasang tamu tuli melemparkan senyum dan mengajak saya "bercakap-cakap". Kalau malam belum telanjur mendekati pertengahan, mungkin saya akan memilih duduk bersama dan kembali bercengkrama...


Share on Google Plus

About e-no si nagacentil

Cerdas, ceriaa, centil
    Blogger Comment

0 comments: