Ego Yang Terluka

Minggu lalu, karena terpaksa dan harus membeli sesuatu saya turun dari menara Rapunzel menuju ke minimarket di area apartemen. Ke-SJW-an saya resmi bertambah sudah: gatel lihat orang gak pake masker 😒


Bukan apa-apa, kalau tau dasarnya, kalian pasti setuju kan kenapa maskeran itu (bukan sheet mask atau clay mask)  wajib banget ketika berada di area publik atau ketemu manusia lain. Dan.... seorang lelaki dewasa (setidaknya fisiknya) yang bertransaksi di kasir dengan posisi masker melorot itu beneran bikin gatel pengen negur. 


Bisa ditebak reaksinya ketika diingetin?


Alih-alih nurut, yang ada si antimask ini malah berdalih kalo suaranya gak akan kedengeran jika masker tetap terpasang. Ujung-ujungnya dia nggak terima dan malah bersikap initimidatif 😡

Pengen videoin, tapi gimana kalo hape saya dikeplak terus retak? Oh no... belum siap buat ganti LCD yang mahal. Pun, sebetulnya termasuk pelanggaran privasi kan?


Jalan termudah, tentunya lapor ke sekuriti (yang posisinya persis di depan toko. Dasar tambeng ndableg, kayaknya kali ini saya salah pilih mitra tanding karena super ngeyel bahkan ngajak ribut sekuriti. Sampai di posisi ini, kami (saya dan sekuriti) sepakat dengan ajaran "yang waras ngalah".


Kesal?


Banget. Kok ada orang ignorant ya. Tapi setelah saya pikir, spesies yang mungkin absen waktu pembagian otak ini ada banyak sekali. Kenapa mereka bisa sedemikian murka ditegur buat kebaikan? 


Bisa jadi, sebetulnya di hati (kalau masih punya) mereka ini mengiyakan. Sayang, ego yang terluka membutakan rasa. Ogah kalah. 



Banyak yang begini, nggak hanya kaum ignorant prokes. In daily life, mungkin kamu pernah bersitegang dengan temen kerja yang nggak ngelakuin tugasnya dengan benar lalu ketika ditegur justru galakan dia. Emak-emak motoran ngelawan arus yang justru meradang lebih keras ketika kita minta pindah jalur. Teman yang playing victim tapi lantang banget membuat kita jadi tersangka ketika diingetin soal hoax yang dia sebar...


Capek nggak?


Waktu muda, nemu yang beginian rasanya emang pengen banget keplak-keplakan sampe lawan tanding nyembah-nyembah kalah (meski faktanya nggak pernah kejadian 😁). Makin ke sini mulai pilih-pilih mana yang layak ditanggapi dan nggak. Kalau dibuat summary, ternyata lebih banyak yang nggak perlu.


Don't waste your energy babe...


Terima kasih buat yang nggak bosen ngingetin supaya nggak buang-buang tenaga. Susah emang. Balik lagi: ego saya masih seneng disuapin makanan.


Melatih untuk nggak memberi makan ego itu perjuangannya berat. Kalau di pelajaran agama dan ngaji-ngaji diajarin ikhlas, memang betul pengejawantahannya gak semudah menghapal Surah Al Ikhlas. Butuh ruang hati yang sangat lega untuk bisa menerima "kekalahan" meski jelas bukan kamu yang salah. 


Jujur, nemuin yang kayak si antimask ini dalam hati sempet kepikiran macam konten TikTok David Surj: suatu hari ada di posisi merekrut orang dan ternyata si antimask ini adalah orang yang lagi butuh kerjaan, kita penentu nasibnya. Kemudian, dengan jumawa dan melipat tangan di dada bisa mencoret namanya dari daftar pelamar.


Tapi hidup kan gak segampang bikin konten TikTok ya? 


Sampai tulisan ini dipublikasikan, batin saya masih bertarung untuk mengusir dendam yang masih bertengger di pojokan hati (tsaah...) untuk merelakannya pergi dan menyiapkan tempat bagi hal-hal yang lebih baik. Susah banget...


Lha wong kejadian berantem sama anak kampus yang ngamuk ditegur karena ngomong teriak-teriak kemudian berujung rasisme aja masih nempel. Sedikit lega ketika tau si pelaku ternyata lagi "high". Ini membuat saya kemudian mikir, jangan-jangan si mas antimask itu juga dalam keadaan ngobat kemarin... 😥





Share on Google Plus

About e-no si nagacentil

Cerdas, ceriaa, centil
    Blogger Comment

0 comments: