Menelaah Perilaku Konsumen Baru

Butuh alasan kuat untuk beranjak dari kasur dan mandi di Sabtu pagi, salah satunya adalah karena kelas Akber. Kalau berbulan-bulan lalu saya harus menyiapkan diri lebih awal (yang artinya usaha ekstra karena pagi-pagi itu di Depok masih adem dan ranjang sangatlah posesif 🤣) maka transformasi ke kelas daring banyak benefit-nya bagi saya. Gak perlu menghitung waktu keberangkatan (yang biasanya butuh dua jam) dan tentu aja ... gak harus mandi pagi hehehe 😁. Yang penting pose pas foto cukup layak untuk tampil di depan kamera laptop. 

Yup, sudah dua kali kelas Akber diadakan secara daring sesuai anjuran physical distancing.  Tentu saja tema yang diangkat relevan banget dengan kondisi yang terjadi. Kalau di kelas sebelumnya mengupas soal perubahan kultur pekerja dari CEO GE Indonesia bang Handry Satriago, maka kelas kedua diperuntukkan bagi pelaku usaha. Sebagai pihak yang paling terpukul, tentunya berat bangetlah beban yang dipikul mereka.

Familiar dengan meme ini kan?


Saya melihat sendiri gimana teman-teman pebisnis ini begitu struggling bertahan supaya bisa menghidupi karyawannya. Meski ada juga yang dengan berat hati harus menutup cabang  dan merumahkan pegawainya. Padahal, usaha kafe yang dirintisnya ini lagi berkembang seperti layaknya bunga-bunga di musim semi. 

Karena itulah kelas Akber kedua hadir dengan tema perilaku konsumen yang menjadi kunci dari segala transaksi. 


Dalam rentang 90 menit, Glenn Marsalim yang di media sosial dikenal sebagai @glennmars ini mengupas satu demi satu perihal konsumen. Udah khatam banget lah ya sebagai mantan anak suhu ahensi dan sekarang pemilik jenama MGKYM Indonesia. 

Mengawali kelas dengan pengenalan mengenai definisi konsumen  sebagai predikat yang disandang oleh setiap orang. Kalo kata iklan Kijang jadul: bapak, ibu, aa, teteh, tante, om, teman, pacar, gebetan, mutualan... termasuk diri kita.

Status konsumen ini menjadi pemicu adanya kebutuhan, yang secara mendasar dibagi menjadi dua yaitu

Bedanya di mana?

Makanan kita konsumsi sebagai pemenuhan kebutuhan karena lapar, tapi kemudian industri menciptakan kebutuhan dengan membuat citra "healthy diet" misalnya yang membuat orang berpikir untuk menaikkan level konsumsinya dari sekadar meal menjadi healthy meal. Meski harganya gak bisa dibilang murah, tapi konsumen yang tersegmen dan berani membayar lebih membuatnya tetap dicari.

Bicara soal konsumen, Glenn memetakan ke dalam tiga kelas yaitu bawah, menengah, dan atas. Kelas menengah inilah yang sekarang mendominasi pasar dan terus bertumbuh. Pakar pemasaran Yuswohady bahkan pernah mengangkatnya dalam satu buku dan dibahas di salah satu kelas Akber beberapa tahun lalu. 



Kelas menengah ini unik, gak aneh kalau di dunia medsos dikenal istilah "kelas menengah ngehe", jangan-jangan kamu salah satunya? 


Jelekkah menjadi kelas menengah? Nggak juga, karena sebagai golongan yang terus growing dan dominan mereka adalah target pasar yang potensial. Inilah yang membuat industri terus bergerak dinamis, sampai suatu hari... negara api Covid-19 menyerang. Meski belum sampai berantakan dan porak poranda, karena every cloud has silver lining kata peribahasa, dengan menguliti satu per satu karakter kelas menengah ini kita bisa kok menemukan peluang penjualan. 

Sebagai orang kaya baru, yang sebetulnya kekayaannya gak sampai tujuh turunan juga bakal habis, kelas menengah akan cenderung memutar uangnya dalam bentuk termudah untuk dicairkan. Sebuah peluang bagi yang jeli untuk menawarkan layanan finansial nih: investasi misalnya. 

Sifat konsumtif kelas menengah juga mengalami perubahan dan ikutan goyah. Kalau sebelumnya foya-foya seperti prinsip YOLO, pandemi membuat mereka berpikir dua kali untuk membelanjakan uangnya. Bukan berarti berhenti, tapi bertransformasi dari emosional jadi rasional. Kalau sebelumnya belanja tas misalnya, hanya karena "biar matching ah sama summer dress yang dikasih tante" maka sekarang terjadi pergeseran: beli tas yang multipurpose bisa buat ke kantor, hang out, arisan, kalo perlu kondangan, bahannya awet, modelnya everlasting dll dll dengan sekian banyak pertimbangan. Konsekuensi harga sedikit lebih mahal bukanlah masalah. Dari sini kita bisa menawarkan produk yang memadukan function yet fashion dalam satu paket, misalnya untuk apparel

Belakangan ini, sustainability dan eco-friendly juga mulai jadi concern kelas menengah. Peluang ini dengan jeli ditangkap oleh para sociopreneur yang sukses menjual produk-produk ramah lingkungan. Value adalah yang dicari oleh kelas menengah. 

Karantina telah mengubah segalanya. Yang tadinya suka hang out di kafe sekarang mau nggak mau menghabiskan lebih banyak waktu di rumah dan mengembangkan hobi lama yang terabaikan maupun menekuni ketertarikan pada hal baru. Kalau kamu menguasai bidang yang jadi hobi netizen, coba deh manfaatkan media sosial untuk berbagi tips. Masak-masak, berkebun, crafting, adalah tiga dari jenis hobi baru yang digandrungi karena dianggap memiliki nilai jual dan otomatis laris dikonsumsi di media sosial. Bukan nggak mungkin kamu bahkan di-hired untuk sharing yang artinya bakal dapat bayaran. 

Pergeseran pola pikir dari "ngapain beli rumah" kemudian membuat kelas menengah menata ulang soal hunian. Dulu mah mikirnya ngapain beli rumah di Bojong Gede yang susah-aksesnya-buat-gaul-Jumat-malam-Jakarta. Sekarang? Karena work from home mulai jadi the new normal, lokasi bukan lagi jadi prioritas selama masih sinyal internet masih perkasa. Yang masih merasa perlu wara wiri seputar Jakarta juga mulai melunturkan idealisme tinggal di grounded house dan memilih apartemen sebagai tempat tinggal because why not? Lahan yang terbatas, melahirkan peluang desain interior hunian mungil plus peralatan rumah yang instagrammable

Di ranah maya berlaku pameo "7 x 7 = 49, setuju gak setuju yang penting penampilan". (Sebetulnya ya ini juga berlaku di dunia nyata apalagi iklan lowonga kerja ehe ehe 😁). Bersyukurlah yang terlahir cantik dan ganteng karena 50% masalah hidupmu selesai 😶 Tapi gimana dengan pemilik tampang medioker dan pas-pasan sementara oplas bukan solusi karena penerbangan dibatasi?  Mau gak mau harus usaha ekstra untuk punya keahlian yang spesifik supaya laris "jual diri". Di sinilah peluang untuk buka kursus online hey! Kan gak semua orang lolos kartu prakerja  👀 

Gimana, insightful enuff?

Tapi ingat ya, sekarang ini kita ada di masa yang serba gak pasti. Apa yang ngetren hari ini, bisa jadi dua hari kemudian malah udah usang atau gak laku. Kayak tren masker medis itu lah 😷

So, menutup kelas kutipan dari Nas vlogger ini layak kamu renungi:


(poin ketujuh bikin pengen balik lagi ke masa kuliah dan lebih serius belajar fisiologi dan genetika huhu 😔)

Kelas lengkap bisa kamu tonton juga di sini ya. 
















 
Share on Google Plus

About e-no si nagacentil

Cerdas, ceriaa, centil
    Blogger Comment

3 comments:

mrbambang said...

Menarik nih.

* komen dulu baru baca *

TemuKonco said...

Ya Tuhaaaan... Semoga ini semua cepat selesai dan berlalu... Serem bayangin ke depannya nih... :(

nagacentil said...

@mrbambang suwun, yang penting komen hahaha