Kopi Sachet vs Kopi Racik

Saya bukan penggila kopi, dan membatasi konsumsi minuman berkafein ini secangkir saja dalam satu hari. Itu pun bukan dalam wujud “kopi sejati” melainkan mixed dengan creamer dan gula yang sering saya sebut sebagai “kopi-kopian” (thanks Rhesya untuk koreksinya mengganti kata "banci" jadi kopi-kopian). Awalnya, keberadaan kopi sachet sungguh membantu karena praktis. Gimana nggak, dalam satu kali tuang saya sudah mendapatkan secangkir kopi yang dimaui. Tinggal seduh dengan air panas dispenser, sungguh orang-kantoran-Jakarta banget ya?

Belakangan, menatap timbunan bungkus kopi yang terkumpul membuat saya ternganga sekaligus merasa berdosa pada bumi. Sebanyak itukah sampah yang saya hasilkan dari kenikmatan yang nggak seberapa? Tak usahlah menguliahi saya tentang “bahaya” kopi sachet (yang katanya nggak pernah dirubung semut itu dan dibuat dari biji kopi kualitas rendahan plus lebih banyak kadar gula serta bahan tambahan lain ketimbang kopinya). Menyaksikan helai demi helai bungkus kopi (yang entah dibuat dari bahan apa sehingga butuh ribuan tahun untuk membuatnya bisa diurai tanah) menumpuk di tempat sampah cukuplah jadi alasan untuk mengurangi kopi sachet.

Perlengkapan ngopi di kantor

Saya memang belum bisa seperti penikmat kopi sejati yang menyeruput bubuk dari biji kopi yang digiling langsung (eh, nganu rasanya biji kopi lebih enak buat dikremus begitu saja hehehe). Tapi, saya mencoba untuk konsisten lagi meramu dan meracik kopi sendiri. Bubuk kopi dalam botol kaca jadi pilihan, meski bobotnya lebih berat ketimbang sachet tentu saja. Hal yang sama saya berlakukan pada creamer: kemasan botol kaca. Pertimbangannya selain lebih cantik, botol kaca bisa dipakai berulang-ulang.

So, sekarang setiap keinginan menyeduh kopi datang, yang saya lakukan adalah menakar dengan sendok mungil: bubuk kopi, creamer, dan gula (duh maafkan saya belum bisa minum kopi tanpa gula). Karena takaran sendiri, tentu saja saya bisa suka-suka mengatur banyaknya. Nggak didikte oleh pabrikan kopi sachet yang notabene membuat secangkir kopi jadi supermanis atau aromanya terlalu wangi. Sssst.. mengganti gula putih dengan brown sugar juga bikin kopi susu (creamer) lebih enak lho!

Keuntungan lain ngopi dengan sistem takar sendiri ini, saya bisa mengkreasikan minuman lain seperti teh susu dengan bahan-bahan yang ada. Oh ya, saya juga kurang suka teh hitam dengan label seperti merk kebanyakan di kantoran itu. Maka, menaburkan sedikit creamer dalam teh hitam seduhan cukup membantu menyenangkan lidah hahaha….


Kebiasaan ini, mulai saya tulari pada office boy di kantor yang juga punya tugas belanja bulanan kebutuhan domestik sebagai salah satu bagian dari job desc-nya. Syukurlah, si OB mengikuti saran saya dengan membelanjakan kopi-creamer secara terpisah.  Dan, kotak penampungan bungkus kopi sachet saya jadi nggak cepat penuh. Horeee….
Share on Google Plus

About e-no si nagacentil

Cerdas, ceriaa, centil
    Blogger Comment

2 comments:

Rhesya said...


Pertamaxxx lagi!

Jam segini masih di kantor, jadinya iseng2 blogwalking. Thanks for sharing ENO!

Aku gak ngopi sih tapi mungkin tipsnya bisa di-apply untuk teh.

Btw mengikuti trend cabe-cabean, istilah banci mending diganti jadi kopi-kopian, biar lebih HITS dan gak mendiskreditkan pihak manapun.



e-no si nagacentil said...

Thanks Rhesya...
ini lagi kumat rajinnya jadi pengen update terus hahaha dan terima kasih untuk koreksinya