Cinta Itu Lebih Dari Sekedar Strip Pada Testpack...

Judulnya serem ya?


Buku Testpack, ditulis oleh Ninit Yunita, yang kemarin dibahas bareng-bareng di moz5 Book Club sebetulnya udah pernah saya baca di tahun 2005.  Waktu itu saya lagi gila-gilanya bolak-balik ke library cafe.  Menarik, karena buku yang mengisahkan tentang pasangan suami istri yang udah menikah tapi belum juga dikaruniai keturunan.  Mirip kisah hidup temen saya yang--waktu itu--lagi berusaha banget untuk punya anak pasca pernikahannya.  Meski akhirnya temen saya itu sekarang sudah punya sepasang bayi laki dan perempuan lucu yang sudah menjelma jadi balita, rasanya tema anak-dalam-sebuah-keluarga-adalah-keharusan masih saja relevan sejak jaman emak saya abege sampe sekarang. 


Testpack, yang ditulis Ninit berdasarkan sekelumit pengalaman pribadinya yang sempet "vakum" setahun sebelum akhirnya lahirlah bayi-bayi lucu, adalah realita yang manusiawi. Berapa banyak dari pasangan menikah yang bosen, kesel, bete atau capek ditanya: kapan hamil? Sama banyaknya dengan para jomblo yang merasa pengen menggerus orang yang setiap ketemu selalu nanya: "kapan nikah" dengan gergaji mesin lalu membuang potongannya di laut untuk umpan great white shark


Saya, memang belum merasakan panik atau sensasi debaran ketika menanti hasil uji dengan testpack: stripnya satu atau dua yaaa.... 


Pada kebanyakan keluarga Indonesia secara general, punya anak adalah sebuah keharusan.  Selain sebagai penerus keturunan dan marga (pada beberapa suku), anak adalah pewaris tahta kerajaan bisnis (buat keluarga pengusaha pastinya) dan menghindari musnahnya satu klan di masyarakat.  Secara non verbal, tertulis standar garis hidup yang musti dijalani: lahir-tumbuh besar-sekolah-kerja-nikah-punya anak-selesai. Di luar itu, biasanya siap-siap menanggung resiko dicecar pertanyaan standar pulak: kapan nikah atau punya anak dan menghadapi seribu tudingan yang dialamatkan via sorot mata menghujam setiap korban menjejakkan kakinya di sentimeter bagian bumi. Hohoho... mulai lebay.


Sayang sejuta sayang, patriarkisme yang berlaku sangat mendukung depresi pada perempuan ketika bayi yang dinanti gak juga terkirim lewat sinyal strip pada testpack.  Berapa banyak pria yang mengajukan diri cek ke Sp.OG ketika usia pernikahan bertahun belum juga menghasilkan keturunan? Lebih sedikit lagi, berapa banyak suami yang mau mengakui dengan legawa bahwa sinyal positif yang dinanti bukan kesalahan sang istri, melainkan problema pada organ reproduksinya yang sebetulnya sederhana itu?  


Ketika ketidaksuburan dituduhkan pada kaum istri, poligami biasanya jadi anjuran dengan harapan garis keturunan gak lantas terputus.  Perempuan jadi semacam mesin produksi anak. Mengenaskan ya?  Sebaliknya, ketika ternyata fakta berbicara suwamik-lah yang gak punya daya dalam membuahi, lepas dari kebesaran hatinya mengakui "kelemahannya" itu apakah cinta masih bisa bersemayam dalam palung hati sang pasangan? 


Orang Perancis bilang l'amour n'est pas parce que mail malgre, cinta bukan karena tapi walaupun.  Artinya, apapun kondisi pasangan (mustinya sih) gak akan melunturkan cinta. Kecuali kelakuan pasangan yang bersifat destruktif (baca: KDRT).  


Beranikah kita?















Share on Google Plus

About e-no si nagacentil

Cerdas, ceriaa, centil
    Blogger Comment

7 comments:

rara said...

apa bedanya test pack yang covernya biru itu dengan test pack yang sekarang? :D

goenrock said...

Ini #kode ya? Hayo para pria single, ini ada yang pengen buru2 ngerasain pake test pack.


*mlayuuu*

e-no si nagacentil said...

@rara errrrrrrr.... *ngetes pake testpack*

e-no si nagacentil said...

@goenrock enggun (--')

Novi Saluntara said...

testpack itu apa ya no? :p
*ngacir sebelum dilempar testpack*

e-no si nagacentil said...

@Novi gak pake testpack ya? langsung jadik yaaaaa?

Anonymous said...

udah nyobain testpack dan menghasilkan double strip :P